Jelang Akhir Tahun Mendaki Gunung Lawu

Yes Outdoor : Banyak cara orang untuk menutup cerita akhir tahun. Tentu banyak juga pilihan mereka melakukannya. Den Baguse Hari dan adik-adiknya ini diantaranya memilih untuk menutup tahun dengan Mendaki Gunung Lawu.

Berikut ini kisah perjalanan mereka :


Saya yang sedang merasa sedikit gegana, -gelisah galau merana-, membuat rencana pendakian ke gunung Lawu di penghujung akhir tahun 2019 ini. Sendiri.  Ya, rencana awalnya mau mendaki sendiri sekalian ngetes tarp tent bivak menggunakan flysheet yang sudah saya modifikasi sedemikian rupa sehingga...😁.

Cemoro Sewu

Tapi rencana awal saya abaikan, iseng share ke grup pengurus Gaspala, -- organisasi pecinta alam di sekolah saya dulu--,  rupanya saya  berhasil menebar racun mendaki ke beberapa anak. Awalnya ada 3 pengurus yang berminat yaitu Nur, Agam, Dira. Ketiganya adalah pengurus aktif Gaspala.

Ditambah 2 orang anggota eskul lain di Smanda, Okta anak PMR, dan Gun anak Pasusda ( eskul yang ngurusin keamanan, upacara, baris berbaris gitu ).

3 hari berselang,  Agam mengabarkan kalau tidak diijinkan ortunya, begitu juga Nur yang tidak diijinkan. Tersisa 3 anak, dan saya berprasangka  "sepertinya 3 anak ini juga batal.  Jadi beneran Solo hiking nih?" Batinku.

Ternyata tidak sodara sodara. Dira, Okta dan Gun tetap ikutan.

Baik, waktu ditentukan yaitu hari minggu 22 Desember berangkat ke solo menggunakan kereta Prameks Kutoarjo - Solo Balapan pukul 7.55 wib.

H-3
H - 3 kami packing barang di Posko Gaspala,  karena sebagian besar meminjam alat milik posko. Ada 3 ransel, 3 matras, 2 kompor + nesting, 1 P3K dan 3 sleeping bag.

Saya sendiri sudah cukup lama tidak mendaki gunung Lawu, --terakhir kesana 2006 dan merupakan pendakian perdana saya ke Lawu,-- mencoba mencari info tentang tarif, lama perjalanan dll seputar gunung Lawu.

Data sudah didapat, dan saya share ke adik-adik yang akan ikut pendakian kali ini. Buat saya, pendakian ke suatu gunung yang sudah pernah didaki, tidaklah mengapa.  Karena tiap perjalanan pasti akan mendapatkan kisah tersendiri yang tentunya berbeda walau di lokasi yang sama / berulang kali.


Minggu,  22 Desember 2019
Bangun pagi menjelang subuh, sekitar jam 4 pagi lalu sholat, packing ulang beberapa makanan yg belum masuk karena masih tersimpan di lemari es ( jagung manis, roti maryam).
Cek personil lewat wasap apakah sudah pada bangun, karena  harus kumpul di Kedungbener, --tempat bus berhenti--, pukul 6.15 biar gak ketinggalan Prameks. Begitu maksudnya...

Next
Saya  menuju Kedungbener pukul 6.20 naik motor  dan saya parkir  disana. Sampai lokasi berkumpul, mereka sudah menunggu 😁.  Twew.. wew.. kirain datang paling pagi.. gak taunya udah pada nunggu dilokasi.

Dan bus yang akan mengantarkan kami sudah datang,  bus merdeka yang garasinya di koplak dokar, bus penuh sejarah perjuangan dan perjalanan. Saya hafal jam berangkatnya karena akhir2 ini sering naik bus untuk ke Jogja. Tapi ternyata dari arah belakang bus merdeka,  datang bus mulyo, dan itulah bus yg berangkat duluan, --Merdeka pkl 6.45 berangkat,  Mulyo pkl 6.30.--

Jadilah kami naik bus Mulyo dengan tarif 12k (biasanya 10k,   kondektur beralasan musim liburan jadi naik).

Bus bergerak cepat, dan kami sampai di terminal kutoarjo pkl 7.10. Lalu menuju stasiun Kutoarjo dengan berjalan kaki kurang lebih 500 meter dari terminal.

Terlihat antrian penumpang kereta prameks,  dan saya mulai was was karena membawa tabung gas juga spirtus (menurut aturan KAI, barang tsb tidak diperbolehkan dibawa naik). Untungnya tidak dicek, dan lolos. Jangan ditiru ya..bisa juga kalian beli gas dan spirtus di lokasi, karena sekarang sudah banyak yang menjualnya. 😁 ***FYI, kita memang tidak diijinkan untuk membawa tabung gas saat naik kereta api atau pesawat terbang


Tidak lama kereta datang, kami menunggu di peron jalur 4. Oiya, untuk tiket prameks, kami memesan lewat aplikasi KAI Access, jadi gak perlu repot antri di loket stasiun. Dengan tarif 15k kita sudah bisa sampai solo.

Kurang lebih 2 jam 15 menit kami menikmati perjalanan, dan sampai di stasiun Solo Balapan pkl 10.15 wib  ketemu Didi Kempot. :)

Berjalan keluar stasiun, naik jembatan penyeberangan ke arah terminal  Tirtonadi  yang lokasinya berdekatan dengan stasiun Solo Balapan.  Dan sampai di pintu keberangkatan bus pukul 10.45. Bus yang ditunggu pun datang, bus Langsung Jaya jurusan Solo - Tawangmangu dengan tarif 15k.

Cukup tersiksa waktu naik bus ini,  karena setelah naik, bus tidak langsung berangkat. Seperti di dalam oven rasanya. Hal yang tidak nyaman tersebut hilang setelah bus berangkat pkl 11.00 karena penumpang sudah full.

Semangat adik-adik


Melewati jalanan kota solo yang siang itu cukup terik, bus terus berjalan sambil sesekali berhenti untuk ambil penumpang. Masuk Kabupaten Karanganyar,  cuaca yang tadinya terik berubah menjadi mendung. Hujan turun.

Sampai di terminal Karangpandan (arah ke Candi Cetho) hujan bertambah deras. Saya pun berpikiran kalau di basecamp sepertinya hujan juga. Jalanan mulai berubah menanjak dan berkelok, ciri khas daerah pegunungan. Dan akhirnya bus kami sampai di terminal Tawangmangu pukul 12.30 wib.

Kami berempat tidak langsung melanjutkan ke basecamp, tapi menuju masjid di sebrang terminal untuk sholat dhuhur. Pas lagi sholat, hujan turun kembali dan bertambah deras. Membuat kami memutuskan menunggu sampai hujan reda.

Sejam menunggu, hujan mulai reda. Kami bersiap lanjut basecamp Cemoro Sewu pada jam setengah dua siang.  Angkutan yang kami gunakan adalah L300 dengan tarif 15k per penumpang.  Duduk di kursi paling belakang, berempat. Dan ransel dimasukkan bagasi belakang kursi kami.
Perjalanan menuju basecamp terasa nyaman karena suhu udara yg sejuk khas pegunungan,  juga baru saja turun hujan.
Pukul 15.00 sampailah kami di basecamp Cemoro Sewu, Kabupaten Magetan, jawa Timur. Yang mana sebelumnya kami melewati basecamp pendakian gunung Lawu juga, yaitu jalur Cemoro Kandang, yang hanya berjarak 200 meter di antara kedua basecamp ini. Bedanya, cemoro kandang masuk Jawa Tengah, Cemowo Sewu masuk Jawa Timur.

Setelah turun dari angkutan, pertama kami registrasi di gerbang pendakian,  dengan mengisi daftar pendaki,  identitas, meninggalkan KTP sebagai jaminan, dan membayar tiket masuk senilai 15k untuk  1 orang pendaki.

Kami jg menjelaskan kalau berencana untuk lintas jalur,  naik lewat Cemoro Sewu dan turun Cemoro Kandang. Tidak masalah,  hanya saja nanti KTP nya harus diambil setelah turun di Cemoro Kandang, begitu penjelasan petugas. ***duuh.. kasian banget.. penginnya pasti KTP boleh dibawa. Kaga pasang jurus muka memelas dewa mabok sih.. jadi gagal kan? wkkk


Kedua,  setelah registrasi kami segera masuk basecamp untuk menitipkan ransel, lalu makan siang di warung sebreang basecamp. Soto menunya. Dan saya seperti biasa,  soto tanpa ayam, hanya sayur. Dengan harga 9 k untuk seporsi soto.

Selesai makan, saya sendiri memilih istirahat di basecamp sambil men-charge hp. Sementara Gun, Okta dan Dira memilih berjalan jalan sambil berfoto di sekitar basecamp.

Rencana Perjalanan
Rencana perjalanan kami adalah berangkat esok hari, Senin pagi pukul 6.00. Jadi untuk hari Minggu benar benar dimanfaatkan istirahat,  sambil adaptasi / aklimatisasi, mengingat suhu udara di lokasi ini cukup dingin.

Menjelang petang, kami persiapan sholat di masjid, yang letaknya di sebrang basecamp. Air wudhu yang mengalir terasa sangat dingin begitu mengenai kulit. Untuk lokasi dengan ketinggian 1900 mdpl, memang sudah hal wajar. Bahkan menurut penjaga warung sekitar, suhu sekarang belum seberapa,  karena pada bulan bulan tertentu, --biasanya saat kemarau--, suhunya bisa lebih dingin.
Selesai magriban, kami memilih masuk basecamp. Sambil mempersiapkan rencana esok hari.

Kami sempatkan makan malam, dengan menu nasi rames. Sengaja dibungkus lalu makan di basecamp,  karena bila kami berempat keluar dari basecamp, khawatir tempat istirahat / tidur kami diambil alih pendaki lain.

Karena hari itu memang cukup ramai, banyak pendaki yang datang baik akan naik atau baru turun. Memang kapasitas basecamp cemoro sewu cukup sempit,-- bila dibandingkan dengan basecamp merbabu--  jadi harus pintar pintar memanfaatkan kondisi. #Tips

Lepas makan malam, kami bersiap istirahat,  untuk memulihkan tenaga setelah hampir seharian menempuh perjalanan darat. Sayangnya, rencana istirahat kami cukup terganggu oleh suara suara obrolan, candaan, gitaran para penjaga basecamp / ranger gunung  Lawu 😁.

Dan kami cukup maklum. Karena mereka memang harus standby 24 jam jika sewaktu waktu ada info darurat mengenai gunung  Lawu khususnya terkait para pendaki ataupun bencana alam.
Sepertinya pukul 01.00 baru mulai reda obrolan mereka.

Jadi bisa tidur pulas yaa. Sayangnya tidak. Berkali kali saya terbangun karena menggigil kedinginan, tidur tanpa jaket, apalagi sleeping bag. Karena malas bongkar packingan, juga untuk membiasakan tubuh dengan suhu sekitar. ****Wiiih.. den baguse Hari lagi tes fisik nih :)

Senin, 23 desember 2019.Bangun pukul 4.00. Buka hp, balas wasap satu per satu, pasang story tentang pendaki yang hilang sejak januari 2019 lewat jalur Candi Cetho,  lalu persiapan sholat shubuh. Yang ditunggu tidak kunjung terdengar.

Ternyata memang tidak ada yang adzan. Akhirnya sholat shubuh dengan beberapa pendaki lain yang istirahat di teras masjid, --mungkin mereka tidak kebagian tempat--.

Balik ke basecamp,  belum pada bangun. Saya bangunkan mumpung toilet belum antri. Juga biar mereka ga ketinggalan sholat.
Selanjutnya sarapan.

Semalam saya sudah menyuruh Gun untuk tanya ke warung,  apakah besok pagi pkl 5.30 warung sudah buka, dan jawabannya belum. Maka kami putuskan memasak sendiri dengan bekal yang kami bawa.  Bubur instan, dan susu Milo.
Cukup untuk mengisi perut.

Selesai sarapan, sedikit peregangan untuk melemaskan otot kaki. Dan mundur 30 menit dari rencana awal. Pkl 6.30 kami baru mulai pendakian. Oya,  pagi itu saat kami memasak sarapan,  banyak pendaki yang baru datang, --sepertinya malam hari--.

Dan mereka belum registrasi,  makanya cuma bisa duduk di gerbang pendakian.  Beruntung sekali kemarin sore kami langsung registrasi, walau masih bermalam alias tidak langsung memulai pendakian. Jadi paginya kami bisa melanjutkan perjalanan,  tanpa harus antri.

Diawali berdoa bersama, kami memulai perjalanan.
Trek awal berupa jalan setapak selebar 2 meter dengan medan berbatu yang tersusun rapi. Jalur masih landai.

Dan ini akan  terus menemani perjalanan sampai di puncak,--medan berbatu yang tersusun rapi--. Entah siapa yang membuat jalur berbatu terebut, yang jelas sejak 2006 saat saya pertama kali kesini, jalurnya juga sudah berbatu,  sama persis seperti sekarang.  Hanya bedanya dulu belum ada gapura pendakian.

Menurut yang saya baca dari catatan perjalanan pendaki lain, lama perjalanan dari basecamp ke pos 1 kurang lebih 90 menit. Itu sebagai patokan saya.

Kanan kiri jalur berupa pohon cemara, sesuai namanya, --cemoro sewu--.
Sempat juga melewati tenda tenda pendaki,--mungkin mereka yang tidak kebagian tempat di dalam basecamp dan memilih membuka tendanya di area camping ground --.

Kaka - Ade

Bertemu  3 pendaki lain, -- yang belakangan saya ketahui namanya adalah pak Mul, mas Zaenal, dan mba Nabil--, sedang istirahat, sekedar say hello, dari mana, apa tadi sudah beli tiket masuk, dll. Ternyata mereka sama seperti kami, sudah registrasi sejak kemarin sore.

Kami memilih duluan jalan,  walau di perjalanan selanjutnya sering salip salipan, kadang mereka di depan, kami di belakang. Atau sebaliknya. Tak terasa posisi seperti ini berlanjut sampai pos 1 wesen wesen yang menurut catatan saya, kami sampai disini pkl 8.00.

Sempat ngobrol ringan, ternyata salah satu dari mereka adalah tim perintis jejak petualang Trans 7. Jadi dulu awalnya jejak petualang adalah komunitas pendaki, yang sukses mengadakan pendakian ke beberapa gunung di Indonesia, lalu nama tersebut dibeli oleh redaksi Trans  7, hingga bermunculan nama seperti Riyani Jangkaru, Medina Kamil dll sampai sekarang. Ups... cukup segitu ngelanturnya hehe..

Selanjutnya menuju Pos 2, menurut acuan yang saya baca waktu tempuhnya adalah 45 menit. Dan kami terus berjalan. Waktu menunjukkan pkl 9.30, sudah satu jam lebih berjalan lepas dari Pos 1, tapi belum nampak tanda tanda Pos 2.

Saya yang mulai merasa lapar, --karena saat sarapan masih kurang 😁--, akhirnya meminta break sebentar untuk memasak. Jadilah kami memasak di pinggir jalur. Cukup mie instan biar agak cepet. Beberapa kali juga dilewati pendaki lain, dan kami tetap pede makan di pinggir jalur. Memang kalau sudah urusan perut, tak peduli. 😁

Kurang lebih 30 menit waktu untuk ekstra food / makan tambahan sebelum makan siang kami. Lalu lanjut berjalan menyusul para pendaki yang tadi melewati kami.

Ternyata acuan yang saya baca mulai meragukan. Entah si empunya catatan yang salah tulis waktu tempuh, atau saya, Gun, Okta, Dira yang berjalannya terlalu pelan. Sudah 90 menit berjalan tapi belum juga menjumpai pos 2. Berkali kali juga tanya ke pendaki yang berpapasan dengan kami, kalau pos 2 sudah dekat, dan ada warungnya. Cukup menambah semangat kami untuk segera sampai disana.

Sampailah kami di Pos  2 pukul 10.30. Tim pak Mul atau Gun menyebutnya tim "Jepe" jejak petualang, juga sedang istirahat di Pos 2. Makan semangka bro... grauks.. grauks..
Memang di Pos 2 ini ada warung yang berjualan,  di antaranya nasi pecel, gorengan,  semangka, pisang, kopi, teh dll. Saya memilih beli semangka, karena membuat ngiler, sepertinya segar sekali, dan manis. Dengan harga 3k saya bisa menikmati sepotong semangka,  yang menurut Okta dan Dira rasanya kurang manis.

Ada mungkin 15 menit kami di pos 2 ini, 10.45 kami lanjutkan perjalanan. Dengan target ishoma di Pos 3. Berjalan beriringan dengan tim jepe, kadang kami di depan, kadang di belakang. Sebenarnya lebih sering di belakang 😁.

Medan dari pos 2 ke pos 3 mulai terjal, jadi lebih sering berhenti untuk mengatur nafas.
Hingga sampai di pos 3 pkl 13.30, berbarengan dengan tim jepe. Dan mengajak makan bersama, karena tadi sewaktu di Pos 2, mereka berbaik hati memberikan 2 bungkus nasi pecelnya kepada kami. Disini kami juga sholat dhuhur, dengan bertayamum untuk menghemat air.
Pukul 13.30 kami melanjutkan perjalanan.

Menurut acuan yang saya baca,  waktu tempuh ke pos 4 adalah 60 menit. Tp saya meragukan itu, melihat sejak dari Pos 1 ke Pos 2 tidak sesuai acuannya. Dan memang benar, kami baru sampai di pos 4 pkl 15.30 alias 120 menit. Itu  berarti 2x lipat dari acuan yang saya baca.

Pos 4 Watu Kapur, tempat yang dulu saya gunakan bermalam bersama Edi, Aris, Turyono, Azwar, dan Ryan. Pendakian pertama, pengganti study tour. Masih ingat, dulu sampai pos ini pukul 4.00 pagi karena berjalan malam hari.

Menikmati pemandangan yang lebih sering kabut,  kedinginan,  membuat sarapan. Lalu didatangi burung jalak gading, yang menurut mitosnya, burung tersebut ada kaitannya dengan kisah Raja Brawijaya V.

Tidak lama disini, mengingat kami harus segera sampai di Pos 5 atau Sendang Drajat sebelum gelap. Selepas pos 4, jalur sudah bersahabat,  dengan banyaknya bonus alias trek datar, malah kadang  turunan. Sampi di Pos 5 Jolotundo, ada 2 tenda pendaki dan sebuah warung yang  buka.
Tapi kami lanjut ke Sendang Drajat, untuk mengisi air disana.

Sendang Drajat, pos yang terdapat mata air, dan dikeramatkan. Terdapat juga warung disini. Bahkan pemilik warung yang masih anak kecil, juga punya hewan peliharaan  ayam, kucing di ketinggian 3000 mdpl.

Peraturan mengisi air di sendang drajat, harus lepas alas kaki.
Setelah mengisi beberapa botol,  kami melanjutkan ke sekitaran warung Mbok Yem, agar esok hari untuk summit attack tidak terlalu jauh.

Mencari lokasi camp yang kosong di sekitar warung mbok yem cukup sulit, karena banyak pendaki yang mengincar spot ini. Dan beruntung, kami menemukan lokasi bermalam untuk 3 tenda. Tim jepe, tim Surabaya (bertemu di Pos 4 dan selalu bersama),  juga kami sendiri.
Pukul 17.00 sore, kami bongkar isi ransel,  lalu bagi  tugas.

Mendirikan tenda, atur posisi tenda, sebagian lainnya sholat ashar.
Sebelum gelap datang, tenda sudah berdiri. Dan saat inilah saya mulai merasakan tidak enak. Semacam pusing,  mual, kembung.  Entah penyakit ams,--accute mountain sickness--. Atau dehidrasi ringan seperti kejadian saat saya ikut PDW 2016 yang membuat saya mundur. Saat naik Slamet juga ngalamin, tapi untungnya bisa diatasi.

Duh... Entahlah,  yang jelas saya memilih tiduran di dalam tenda, lengkap dengan  jaket, sleeping bag. Sementara Okta, Dira, Gun duduk di depan tenda sambil membantu memasak tim jepe. Kami disini memasak bersama, 3 tenda dihadapkan jadi satu, melingkar.

Saya yang di dalam tenda mulai merasa gejala makin parah, rasa mual makin terasa, dan segera lari keluar  tenda. Berhasil mengeluarkan isi perut, yang sebagian besar adalah air minum. Jd memang seperti kisah pdw 2016, dehidrasi ringan.

Atau kisah rahasua saat perjalanan pulang dari Sindoro tahun 2009... Atau bisa juga masuk angin. Setelah urusan perut selesai, saya langsung diberi antangin.  Lumayan meringankan. Lalu saya melanjutkan istirahat di dalam tenda. Sementara yang lain asyik memasak juga makan.

Hmm... kalau dianalisa dikit, sepertinya itu efek tidur di basecamp yang maksain banget gak pake sleeping bag dan jaket dah.. wkkk

Sekitar pukul 20.00, merasa agak mendingan, saya keluar  tenda. Sementara Okta, Dira, Gun gantian masuk tenda. Saya memilih duduk lalu rebahan di luar tenda, beratapkan flysheet,  karena memang kapasitas tenda yang saya bawa hanya untuk 3 orang. Sempat diajak bergabung ke tenda tim Surabaya atau mas Bagus, tapi saya tolak. Karena memang rencana awalnya, --tanpa skenario bertemu tim lain--, saya tidur di luar tenda. Jadilah saya tidur di luar tenda,  dengan jaket, sleeping bag,  beralaskan matras aluminium foil.

Menjelang malam, suara mulai hening. Hanya terdengar suara di kejauhan, sepertinya di warung mbok  yem. Suara gitar,  lagu lagu Iwan Fals. Buku Ini Aku Pinjam.. Bikin Ambyar... wkkk Tidak asing buat saya. Sama seperti lagu saat di basecamp kemarin. Sesaat teringat kenangan bersama Edi, Kesod... di gunung ini hiks..

Selasa, 24 desember 2019.
Terbangun pkl 3.00, cek keluar tenda,  cuaca sangat cerah. Terlihat lampu lampu kota dari lokasi kami bermalam. Pemandangan yang sangat indah. Seperti kumpulan bintang  di bawah sana. Hanya sebentar, karena angin bertiup yang membuat saya segera menutup flysheet.

Dan mas Zaenal pun terbangun, keluar tenda. Memasak air hangat. Membuatkan saya jahe. Disusul mas Bagus. Tiga orang pertama yang terbangun pagi itu.

Lalu membahas rencana summit attack (perjalanan ke puncak), yang tadinya saya rencanakan tidak ikut ke puncak,  --saat semalam masih drop--, tapi pagi itu saya putuskan ikut summit. Nah loh... kaga ikut ke puncak..

Tentunya untuk menemani ketiga adik-adik Gun, Okta, Dira. Ada rasa tidak tega kalau mereka sampai puncak tetapi saya tidak ikut. Juga saya sendiri yang berniat mengunjungi gunung ini, untuk mengulang pendakian 13 tahun silam. Saat ini dengan orang-orang yang berbeda.

Setelah semua bangun,  kami bersiap untuk summit. Tanpa sarapan, hanya menyeduh jahe hangat. Mengingat untuk summit hanya 30 menit dari lokasi camp kami. Mas zaenal membawa teh hangat yang dimasukkan ke botol minumnya. Saya sendiri hanya membawa hp, dompet, kupluk, jaket.

Lima belas menit berlalu, kami mulai mendekati puncak. Disertai munculnya matahari di belakang kami.

Saat berhenti untuk mengatur nafas, Dira dan Okta nampak kelelahan, dengan menjawab karena belum sarapan. Memang untuk summit,  alangkah baiknya bila kita menyiapkan tenaga yang cukup, dengan makan terlebih dahulu misalnya. Untuk saya sendiri,  karena tidak terbiasa sarapan, jadi tidak begitu mengganggu. Juga karena jarak ke puncak yang menurut saya cukup dekat.

Sementara tim jepe sudah berjalan meninggalkan kami, karena saya persilakan duluan daripada menunggu kami berempat. Dengan terus memberi support ke Dira dan Okta, bahwa puncak sebentar lagi, terlihat tiang bendera yang ada di tugu.

Akhirnya kami berempat, --Gun, Okta,  Dira, dan saya sendiri--,  sampai di puncak Hargodumilah, menyusul tim Jepe dan Surabaya yang sudah lebih dulu sampai. Banyak pendaki disini. Berfoto, ngobrol ringan. Tentu yang paling ditunggu adalah foto di tugu puncaknya.

Puncak Lawu Cukup Ramai

Terlihat antrian pendaki yang ingin sekedar berfoto di tugu tersebut. Tiga belas tahun yang lalu, tugu tersebut belum dibangun.  Masih berupa gundukan batu2, dengan tiang berplakat tertulis puncak lawu Hargodumilah 3265 Mdpl.

Tidak lama kami di puncak,  karena lokasinya yang sempit,  tentunya untuk bergantian dengan pendaki lain. Kita pun harus memahami,  bahwa mereka yang datang belakangan ingin berfoto. #Nasehat

Turun dari puncak, lalu memasak sarapan. Tentunya makan besar, karena setelah ini kami tinggal turun. Kami yang berencana turun lewat jalur Cemoro Kandang, juga harus bersiap siap, lebih awal dari tim jepe dan lainnya.  Selain sudah pesan tiket kereta Prameks untuk pulangnya. Dengan tarik mundur jam, target sampai di basecamp pkl.12.00 siang.

Sarapan pagi itu kami memasak bermacam macam menu. Saya sendiri menggoreng bakwan jagung,  tim jepe goreng perkedel, Dira, Gun, Okta memasak mie + telur rebus. Untuk nasi sudah tersedia karena memasak tadi malam.

Cukup lama kami memasak, sehingga sekitar pkl 8.00 baru selesai. Dan segera sarapan bersama,  kemudian packing barang. Persiapan turun.
Disini kami berpisah,  bersalaman dengan tim Jepe dan Surabaya.
Sebelum melanjutkan perjalanan turun, kami berempat berdoa bersama.

Pkl 8.30 berjalan melewati warung Mbok  Yem, dira sempat diganggu oleh monyet peliharaan warung mbok Yem, terbukti sampah yang kami bawa direbut si monyet. Untung cuma plastik kosong. Karena sampah aslinya masih aman terpegang.

Jalur Cemoro Kandang selepas dari mbok  yem sedikit naik, lewat hargo dalem, kemudian datar. Nyaris datar sampai di pos 5 atau persimpangan jalur. Lurus ke arah cemoro kandang, kanan ke arah Pasar Setan / Dieng,  kiri arah Hargodumilah.

Sementara saya berjalan agak cepat, dengan target sampai di basecamp Cemoro Kandang pukul 12.00. Tapi adik adik tidak bisa mengikuti langkah kakiku.****Berasa jadi Suparman***
Sepertinya memang efek summit / perjalanan kemarin yang begitu menguras tenaga. Karena untuk perjalanan turun, yang seharusnya bisa berjalan cepat, tapi tidak bagi Dira dan Okta. Kami sampai di Pos 4 Cokrosuryo, pukul 9.45.

Tidak istirahat, langsung lanjut jalan. Jalur Cemoro kandang relatif landai,  dan agak sepi. Tidak seperti cemoro sewu. Medannya juga berupa tanah, tidak berbatu.
Sampai di Pos 3 Penggik, pukul 11.00. Sudah mulai was was, karena kereta prameks dari Solo jam 4 sore. Saya berinisiatif jalan duluan sampai basecamp,  lalu kembali menuju ke basecamp Cemoro Sewu untuk ambil KTP  yang saya tinggal sebagai jaminan.

Tapi ada rasa  tak tega meninggalkan Gun, Okta  dan Dira berjalan sendiri. Beberapa kali saya jalan duluan lalu istirahat sembari menunggu mereka di belakang. Di pos 2 Tamansari, saya benar-benar jalan duluan meninggalkan mereka bertiga.

Saya sampai basecamp Cemoro Kandang pukul 13.00. Sementara mereka bertiga,  entah sudah sampai mana. Mungkin masih Pos 1.

Segera saya laporan di basecamp, titip ransel lalu jalan kaki ke Basecamp Cemoro Sewu yang jaraknya kurang lebih 200 meter.  Melewati batas provinsi Jawa Tengah -  Jawa Timur. Sampai di Basecamp Cemoro Sewu, langsung laporan,  ambil KTP, sholar dhuhur + jamak ashar di masjid sebrang. Lalu kembali ke Cemoro kandang. Di perjalanan ini, hp saya nyalakan. Dan ada pesan masuk dari Okta, bahwa mereka sudah sampai di cemoro kandang. Alhamdulillah...

Pukul 14.15 kami bertemu kembali, nampak Dira yang kelelahan, yang menurut pengakuan Okta dan Gun, Dira sempat marah-marah karena jalurnya yang panjang 😁. Haha.. mirip-mirip Eno & Kang Maman ini di Sindoro wkkk.

Lalu berdiskusi sejenak, karena tidak mungkin sampai di Solo sebelum pukul 16.00, otomatis tiket kereta Prameks yang sudah dipesan hangus. Kemudian menuju pinggir jalan untuk menunggu angkutan yang membawa kami ke terminal Tawangmangu.

Pukul 15.00 angkutan yang akan mengantar kami ke tawangmangu datang.
Sampai di terminal tawangmangu pkl 15.45, bus menuju arah Solo sudah menunggu. Sekaligus bus terakhir untuk hari itu.

Sepanjang perjalanan ke arah Solo, terbayang akan sampai jam berapa di Kebumen. Karena sudah pasti jalur darat macet efek liburan. Dan karena tidak bisa mengejar jadwak kereta Prameks, akhirnya kami sepakat untuk naik bus sampai Kebumen. Alamaak...

Dan akhirnya kami berempat naik bus Sugeng Rahayu, yang mengantar kami dengan selamat sentosa sampai di Kebumen sekitar pukul 23.00.

Sepanjang perjalanan saya dihubungi oleh ortu adik-adik, yang menanyakan kabar, sudah sampai mana dll.  Menjawabnya satu persatu, memberi informasi yang benar dan menenangkan fikiran orang tua mereka meskipun saya tetap merasa tidak enak hati karena ajakan pendakian ini yang meleset dari jadwal.

Tapi begitulah, sebuah perjalanan, kita bisa membuat rencana A tapi harus juga punya rencana B.
Inilah catatan perjalanan pendakian ke gunung  Lawu yang kedua bagi saya, setelah 13 thn silam mengunjunginya. Dan bagi  Dira, pendakian keduanya setelah merbabu juni lalu. Serta yang pertama bagi Okta dan Gun.

Terimakasih sudah menjadi partner pendakian yang hebat.

"Setiap perjalanan akan mendapatkan kisahnya masing masing-masing, tak peduli itu sudah sering dilakukan atau belum".

.

Posting Komentar

0 Komentar