Insprirasi & Pemikiran Dari Sebuah Pendakian Gunung (Yang Sebenarnya)

Yes Outdoor : THE NEW KILLING FIELD ….

Baru 2 minggu yang lalu ….Medsos diributkan dengan musibah 7 pendaki Lawu, yang alhamdulillah semuanya selamat. Walau nyaris, mereka hampir tak bisa pulang. 

Kini berita duka kembali mengguncang, dalam 3 hari terakhir gn Semeru yang kini mengambil korban. Seorang pendaki masih hilang (sekarang udah ketemu), seorang meninggal, 2 orang cedera berat patah kaki.Saya teringat pada tahun 1994.

Di akhir masa jabatan saya sebagai ketua suku Jana Buana Cimahi untuk yg ke 4 kalinya. Harus berfikir keras, untuk membuat sebuah program pengembaraan lapangan, namun dengan disertai pembobotan lebih pada konsep ilmumanajemen perjalanan. 


Ini dia penampakan pendaki
yang udah malang melintang di jagad naik turun gunung
Thanks kang Î²Î¬Î³Î° λλόήτ 
Tujuannya adalah mencetak kader pimpinan dimasa depan, yang bukan saja piawai dilapangan, namun juga mampu menghitung cermat diatas kertas. Dari perencanaan sampai pelaksanaan dan evaluasi di lapangan.Lalu, kami mencanangkan sebuah program. 

Judul kerennya,The Three Mountains Marathon Climbing , TMMC – 1994. Sebuah team yang akan menyapu seluruh gunung tertinggi dari deretan pulau Sumbawa, Lombok dan Jawa, secara marathon. Yang notabene adalah Gn Tambora, Rinjani dan Semeru, dengan batas waktu yang ditentukan. Durasi yang dicanangkan sekitar 3 minggu, paling telat selama sebulan. 

Sebelum itu mereka tak boleh pulang.Tiga bulan sebelumnya, program disusun. Team 6 orang disiapkan, campuran antara yang tua dan masih muda belia.Dengan jam terbang 20 th sampai yg baru 2 th. Team manajer kang Maruli dari angk 4, masuk th 1974. Assisten manajer di lapangan kang Heri Alam, angk 6 – 1976. 

Anggota team kang Agen, kang Wanda, angk 10 – 1990, plus ditambah yang masih junior kang Bocok serta si bungsu teh Yeni angk 11 th 1992, yg saat itu baru saja lulus dari SMEA. Didampingi pengawas program lapangan, sang senioren kang Edi Ukik, angk 1 – 1969.Program direncanakan, disiapkan, dilatih, lalu dilaksanakan. Syukur alhamdulillah, team utuh kembali ke sekretariat, setelah 19 hari kemudian, semuanya selamat. 

Ke tiga puncak gunung yang ditargetkan, seluruhnya bisa didaki oleh team. Walau dengan seribu kendala yang ada. Mulai dari kelelahan fisik, mental dan emosi yang tertekan. Sampaisarana yang jauh dari cukup, apalagi biaya yang terpaksa membuat team kasak kusuk nyari tumpangan dan tebengandi sepanjang jalan.Setiap hari, kegiatan mereka di pantau. 

Sekalipun hubungan komunikasi waktu itu ( 21 th yg lalu ) belum secanggih sekarang. Sementara di sekretariat kami sudah menyiapkan team lain, sebuah team SAR reaksi cepat. Jika sesuatu terjadi dengan team dilapangan, maka 5 orang team SAR akan segera berangkat, tanpa menunggu waktu. 

Karena gunung2 dimaksud, pada saat itu masih sepi dari pengunjung, jadi jangan terlalu berharap pada pihak lain.Intinya…..seberapa sulit program dimaksud, jika segala sesuatunya dipelajari, direncanakan, dilatih dan disiapkan terlebih dahulu, maka Insya Allah dapat diwujudkan. Team dilatih secara fisik dan mental. 

Restu dan ijin dari orang tua jangan dilupakan. Berangkat dari organisasi resmi berbekal surat jalan. Lapor pada pejabat setempat, dan terangkan maksud dan tujuan. Serta laporan up date ke sekretariat, sehingga team rescue reaksi cepat dapat terus disiagakan…..Lalu , film 5 cm itu beredar …..Enam orang pendaki dadakan. Berangkat ke semeru hanya berbekal romantisme tanpa nalar.

Konon cuma berbekal semangat pertemanan, berniat memancangkan sang dwiwarna di puncak ketinggian. Fisik tak terlatih, pengalamanpun tak ada. Satu satunya yang membuat mereka selamat dari dera sang derita, karena itu cuma dalam film fiksi semata.Banyak orang berceloteh sebagai film yang menginspirasi kaum muda. 

Lalu membeli peralatan dan pakaian layaknya sang cerita. Mengidentifikasi diri sesuai lakon-lakon dalam benak sutradara. Sebuah kisah romantisme, yang hanya laku dalam medsos di dunia maya. Melahirkan pikiran, jika aktris yang bergincu tebal saja mampu, mengapa tidak dengan saya.Lalu antrian pemuja romantisme, mengular ke gunung gunung tinggi.

Tempat singgah yang dulu sepi, kini bak pasar malam mingguan. Lokasi yang dulu hening, kini dipenuhi oleh gendang musik dangdutan. Moment ditengahrimba sunyi, tempat mengevaluasi diri, kini hanya jadi sarang sampah dan tinja.Tak nampak rasa takut, tak nampak rasa hormat, pada alam disekitar. Berbondong ke tempat berbahaya, hanya untuk berfoto selfie ekstrim ala kadar. Lupa bahwa disetiap langkah bahaya mengincar. 

Lalai saat bentang alam kan hilang keseimbangan, ketika kapasitas maksimal dilanggar. Semua terjadi ketika kita enggan belajar, seraya kehilangan ranah fikiran sadar ….Apapun itu .. semua sudah terjadi, dan akan tetap terjadi, dengan bekal “hak” setiap warga negara, sebagai pembelaan diri. Hak untuk pergi kemanapun, hak untuk melakukan apapun. 

Hak untuk mengabaikan apapun, termasuk pembelajaran dan pelatihan diri.Saya hanya mau mencatat dalam diary….Gunung gunung sepi yang dulu saya dakiSekarang sudah menjadi arena bunuh diriBagi mereka yang berfikir obsesif romantisTak ubahya sepertiThe New Killing Field …

Yat Lessie

Posting Komentar

0 Komentar