Idealis Sang Pendaki

Yes Outdoor : Embun pun masih menempel di dedaunan, sinar sang mentari masih tertutup awan pagi, belum ada tanda-tanda terik hari ini. Di lapangan hijau pagi sekali sudah ramai pecinta olahraga, sibuk dengan olahraganya masing-masing. Tapi kebanyakan mereka lari-lari kecil di lapangan hijau itu, termasuk cowok berkaos putih, bercelana trening biru itu. Keringatnya membasahi di sekujur tubuhnya, tetapi tampak tak lelah sedikit pun, bahkan wajahnya memancarkan aura semangat luar biasa di pagi hari ini, dan larinya pun semakin cepat, mengikuti waktu yang telah diatur pada jam tangannya.

“Aduhh, kakiku” terdengar rintihan gadis kecil karena terpeleset saat berlari bersama adiknya, dan tepat di belakang cowok itu. Dan cowok itu pun menoleh ke belakang.

“Hei dik, kamu kenapa, kamu baik-baik saja?” tanya cowok itu sedikit kaget, lalu ia pun mendekatinya memastikan apa yang terjadi. “lututku bang berdarah, tadi terpeleset” jawab gadis kecil itu, dan adiknya pun ikut menjawab, “Kakak sih bang, enggak hati-hati makanya terpeleset”.


“Ok, tenang-tenang, abang ada plester ko’, abang selalu bawa plester setiap olahraga.” sahut cowok itu sambil merogoh tas pinggangnya, cowok ini memang setiap olahraga selalu membawa plester, balsem, di dalam tas pinggangnya. “Tahan ya? enggak sakit ko’, Cuma sedikit sakitnya, biar enggak infeksi lukanya.” cowok itu menenangkan, lalu membersihkan lukanya dengan tisu dan menempelkan plester itu ke lutut gadis.

“Enggak sakit ko’ bang” sahut gadis itu, ia pun lalu bangkit dan berjalan sedikit tertatih mencari tempat duduk yang nyaman. “Mari abang bantu tuntun kamu dik, kita ke kursi itu saja” sambil menunjuk ke arah kursi yang tidak jauh dari mereka.

Mereka pun berkenalan, perkenalan mereka cepat akrab satu sama lainnya, dan sang adik yang selalu ikut berceloteh bercampur nyeleneh menambah gelak tawa mereka.

“Oh ya, terimakasih ya bang udah membantuku, jadi enggak enak merepotin.”, “enggak apa-apa lagi, santai saja dik!”, “abang sering olahraga di sini ya? Kelihatan enggak asing deh”, “enggak sering juga sih, ya seminggu terkadang dua kali abang olahraga di sini.

Oh ya, kamu kelas berapa dik? Dan adikmu?” tanya cowok itu sambil melirik adiknya. “Aku kelas dua SMA bang, dan adikku ini kelas dua SMP”, “Sebenarnya bang aku kelas tiga SMP lho, tapi karena telat masuk sekolah dasar jadi sekarang kelas dua SMP deh, hehe”, sahut adiknya yang selalu menyahut pembicaraan orang lain.

“Dan abang sendiri udah kuliah ya? Fakultas apa dan semester berapa bang?” tanya gadis itu sedikit penasaran. “Abang semester IV, dan ambil fakultas hukum” jawab cowok itu. “Oh, anak hukum ya? Asyik dong, kenapa ambil hukum bang?” gadis itu kembali bertanya.

“kenapa abang fakultas hukum ya? Hmm, alasannya sederhana sih, karena abang tidak suka hukum, awalnya sih, makanya abang ambil fakultas hukum, agar suka, lalu belajar dengan tekun, dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan untuk ke depannya ikut di barisan untuk menegakkan hukum yang benar, yang adil dan tak pandang bulu.” jawab cowok itu.

“Hihihi, panjang amat bang jawabannya, seperti gerbong kereta api”, ucap gadis itu sambil bercanda. “Lantas bang, menurut abang pribadi, bagaimana hukum yang semakin buruk akibat orang-orang hukum itu sendiri?” kembali pertanyaan dilontarkan dari gadis itu.

“Hmm, menurut abang orang-orang seperti itu bukan orang-orang hukum, tak layak sebutan itu untuk mereka, karena mereka itu yang sebenarnya penjahat hukum. Lagian abang juga masih mahasiswa, belum bisa banyak berbuat apa-apa untuk melawan mereka, hanya ikut berdemo saja ketika ada kasus-kasus hukum yang tidak adil, ikut mengkritik melalui tulisan-tulisan kepada mereka yang menyalahgunakan hukum. Dan tentunya abang lakukan bersama teman-teman kelas abang lainnya.

“Wah, aku terharu jadinya, abang idealis sekali”, gadis itu kagum mendengar jawaban dari cowok itu.

Matahari pun sinarnya mulai terik, lapangan hijau kini mulai sepi. Satu persatu para pecinta olahraga meninggalkan lapangan. Dan tiga anak manusia yang duduk di kursi itu pun bersiap-siap pulang. “Oh ya dik, kalau ada waktu kamu telpon ke nomor abang ya? ada yang mau abang bicarakan. Kamu suka mendaki gunung dik?” tanya cowok itu sambil memberikan no hpnya.

Di rumah sederhana dihiasi bermacam-macam bunga, dan ada juga berberapa pohon lumayan besar merindangi rumah ozy. Tiap sore si ozi mendapat tugas dari ibunya untuk menyiram tanaman-tanaman hias kesayangan ibunya. Si Ozi anak satu-satunya dari keluarga sederhana ini, tak heran jika hampir pekerjaan rumah ia bisa mengerjakannya, dari mulai menyapu, mengepel, bahkan masak sekalipun ia bisa mengerjakannya. Karena ia rajin membantu ibunya dan sangat patuh terhadap orangtuanya.

“Uchh, capek juga kali ini menyiram tanaman ibu, mana air keran macet-macet lagi, tapi untunglah akhirnya selesai juga, Hmm” walaupun sedikit capek aku harus tetap membantu ibu, kalau bukan aku lalu siapa lagi yang membantu ibu. “gumamku.

“Selesai menyiramnya?” tanya ibu sedikit teriak dari dalam rumah. “udah bu, baru aja selesai” jawabku sambil menggulung selang air. Setelah membereskan semua alat-alat menyiram tanaman, lalu aku masukkan di gudang belakang dapur.
Terdengar suara sms dari hpku yang ku letakkan di meja belajar kamarku, aku pun bergegas mengambil hpku, lalu aku buka pesannya, “oh, ternyata sms Wika, hmm, ternyata dia kangen juga denganku”

“Assalamualaikum Wr Wb bang.. Apa kabar? Lagi sibuk enggak bang?” isi pesan sms dari wika, gadis kecil yang manis, cantik, pintar dan penuh enerjik itu. teman baru Ozi, mereka saling mengenal ketika di lapangan hijau.

Aku pun langsung membalas sms dari Wika, “Waalaikum’salam WR WB dik, Alhamdulillah sehat. Kabarmu sendiri dik? Sehat? Abang enggak sibuk”, aku pun akhir-akhir ini terus memikirkannya, tetapi aku malu untuk smsnya duluan. Dan ternyata dia duluan yang sms aku, hmm.

“Alhamdulillah baik juga bang, oh ya bang, kemarin abang tanya aku suka atau enggak mendaki ya? Aku suka sekali loh bang, tapi aku belum pernah mendaki, dan aku ingin sekali” balas sms wika lagi.

“kamu serius dik? Yakin nih?” aku sedikit ragu dengan Wika, apa benar ia ingin mendaki ikut aku. “Iya loh bang, yakin, tapi enggak wika sendiri cewek kan bang?” balas sms wika lagi.

“Oh enggak dik, abang ada teman dua cowok dan satu cewek, pastinya mereka menyenangkan dik, kami semua mudah bersahabat”, jawabku melalui balasan sms untuknya. Aku sangat senang mendengar kabarnya mau ikut mendaki. Aku pun agak heran dengan diriku sendiri, kenapa belakangan ini aku selalu memikirkannya, teringat jelas garis senyumnya, tatapan matanya yang berbinar, semua menyatu di wajahnya yang rupawan. Rasa keingintahuaannya, manjanya saat ia lututnya terluka, sopan santunnya, ahh, sungguh membuatku tak mnegerti perasaan. Upps, jangan sampai, iya jangan sampai aku mencintainya, tak mungkin.

Suara sms hpku mengejutkanku saat aku sedang bermain dengan perasaanku. “Oh benar bang, ya udah bang, nanti aku kabari lagi. Aku mau minta izin sama ortuku dulu, kalau dapat izin, kita berangkat Sabtu depan ya bang?” balas sms wika, tampak wika sangat semangat ingin menapakkan kakinya di kerikil-kerikil pegunungan. Ia sudah tak sabar lagi menghirup udara segar alam bebas, disapa lembut oleh embun pagi di alam bebas.

“iya dek, abang tunggu kabar darimu, kalau benar jadi Sabtu depan kita berangkat, nanti kita sambung smsnya dik, udah mulai maghrib nih, Waalaikum’salam Wr Wb dik”, tak lama kemudian adzan magrib pun berkumandang dengan merdunya menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya. Ozi pun bergegas mandi, untuk melaksanakan sholat maghribnya, kali ini ia sholat di rumah, tak seperti biasanya yang selalu rajin ke mesjid. Mungkin karena tak sempat lagi ke Mesjid, makanya Ozi sholat di rumah saja.

“Ya Allah, ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau Yang Maha Tahu, Engkau yang membolak-balikkan hati ini, ya Allah bimbinglah hamba ke jalan lurusMu, jangan biarkan hambaMu ini lalai mengingatMu, ketika hambaMu mulai merasakan getaran cinta di dalam hati ini, jangan biarkan hambaMu ini diperbudak hawa nafsu, dan berikan yang terbaik untukku ya Allah, aamiin ya robbal alamiin.” doa Ozi setelah sholatnya.

Hari semakin gelap, bulan dan bintang mulai menghiasi angkasa, dan dingin pun mulai menyapa. Seperti biasa, Ozi menulis catatan hariannya. Ia suka sekali menulis dan membaca, sering kali mengurung diri di dalam kamar hanya untuk menulis. Ia tak seperti anak muda lainnya, ia menghabiskan waktu dengan hal-hal positip, dan ia dengan tegas menolak jika diajak teman-temannya untuk melakukan hal negatif, baginya waktu itu sangat berharga, tak salah jika ia tak membuang waktu hanya untuk melakuakn sesuatu yang negatif.

Terdengar suara sms hp Ozi, ia pun segera membukanya. “Assalamu’alaikum Wr Wb, bang aku dikasi izin sama ortuku, kebetulan ayah juga dulu waktu masih sekolah hobi mendaki gunung. Ketepatan deh, hheehe, makanya dapat izin gampang.”

Aku pun langsung membalas sms Wika, “Ok dik, Sabtu depan kita berangkat, nanti abang sms apa saja yeng perlu kamu bawa untuk perlengkapan mendaki gunung beserta logistiknya.”, “Ok bang sip” jawab wika. Aku pun memberitahukan kepada teman-temanku melalui sms untuk siap-siap sabtu depan naik.

Suasana kampus tidak seperti biasa, lebih ramai dan lebih sibuk dari hari sebelumnya, itu karena para siswa mengikuti ujian akhir semester. Bercelana keper hitam, berkemeja lengan panjang putih, seragam wajib bagi siswa untuk mengikuti ujian, dan jangan sesekali melanggarnya, kalau masih ingin berada di dalam kelas untuk mengikuti ujian. Para siswa sibuk dengan kegiatannya masing, ada yang sedang membaca di perpustakaan, membaca di kantin, membaca di bawah pohon bersama teman-teman yang lain, ada yang internetan di ruangan wifi, ada juga yang ngumpul-ngumpul seperti semut dan sesekali tertawa terbahak-bahak, suaranya pun sampai ke langit ke tujuh, luar biasa. Ada juga siswi yang cakep, yang berlangganan setiap jam istirahat merapikan makeupnya, ya dia adalah cewek yang tersorot oleh siswa-siswa genit, dan kalau ia lewat di depan siswa genit, para siswa genit beramai-ramai menyuitnya, cuittt… Cuitttt.. (Ya, seperti itulah kira-kira bunyinya).

Dan aku sedang berkumpul dengan teman-temanku di kantin untuk membicarakan pendakian Sabtu besok, setelah selesai ujian akhir semester. Mereka adalah: Dido, Ando dan satu lagi cewek, biasanya dia datang ke kampusku tapi kali ini dia enggak bisa datang. Dan Cuma dia yang beda kampus di antara kami, namanya Lena, dan dia juga yang paling cantik di antara kami. (ya iya lah cantik, Cuma dia sendiri cewek)

“Jadi gimana bang? Pasti kan kita naik sabtu depan? Tanyaku pada mereka, “kalau aku ok aja bang, gimana menurutmu bang Ando?” jawab Dido, dan bertanya kepada Ando, “Kalau itu kita yang atur, kalau aku oke aja” dengan semangatnya ando menjawab.

“Oh ya bang Ozi, siapa cewek yang abang bilang kemarin mau ikut?” tanya Dido penasaran padaku. “Oh cewek itu, kenalan baruku, waktu latihan kemarin di lapangan. Anaknya asyik loh, aku jamin deh kita semua akan klop. Hehe”. “baguslah bang kalau begitu, bertambah satu lagi teman mendaki kita, iya enggak bang Dido?” sahut Ando.

Teeettt… teeetttt… Suara bel tanda masuk kelas. “Udah bel bang, yuk masuk kelas bang! Biar cepat selesai ujian kita”, ajakku biar cepat bergegas, dan kami pun meninggalkan kantin menuju kelas.

Sampai di kelas ternyata pengawas ujian sudah masuk terlebih dahulu, dan soal ujian sudah diletakkan di setiap meja siswa. Dan kami pun duduk di kursi masing-masing, ketepatan kami bertiga duduk bersampingan, jadi bisa lebih mudah saling berbagi (m*ny*nt*k). Ujian dimulai, kami pun siap bertempur.

Satu jam kemudian, bel berbunyi sebagai tanda waktu ujan sudah habis. Selesai atau tidak, pengawas mulai mengumpulkan satu persatu lembar jawaban dari siswa. Kini pengawas tepat di depan mejaku, padahal satu soal lagi belum aku jawab. Huh, dengan tak rela aku serahkan lembar jawabanku kepada pengawas.

“Bang Dido, bang Ando, gimana selesai semua?” tanyaku pada mereka, “belum bang, satu soal lagi belum terisi”, jawab mereka bersamaan. “hahhaahhaahaa”, kami pun gelak tawa bersama menghebohkan ruangan kelas, semua siswa di ruangan kelas menoleh kepada kami dan serentak mereka berteriak “woiiii! berisik”, lalu kami pun keluar dengan segera, dan kami masih tertawa kecil.

“oh ya bang Ozi, si Lena udah abang kasi tau, sabtu depan kita berangkat?” tanya Dido padaku, kami sambil berjalan menuju persimpangan kampus, seperti biasa di simpang itu lah kami masing-masing memilih mobil kami (angkot).

“Udah bang, kemarin aku udah sms, dan jawabnya dia juga siap berangkat”, “mantaplah, jadi kita berlima ya kan bang?”, “iyalah kita berlima, ada lagi yang mau ikut emangnya?”, “Enggak ada sih bang, kita aja yang berangkat” sahut Ando, dan kami pun sampai di persimpangan kampus. “Baiklah bang, waktunya untuk berpisah, sampai jumpa besok”, “ok bang sipp” jawab mereka serentak, dan kami pun kembali ke rumah masing-masing.

Sampai di rumah, rumahku tampak sepi sekali, mungkin orangtuaku lagi pergi keluar. Aku pun langsung masuk ke kamar, dan merebahkan badanku di kasur, badan dan pikiranku cukup lelah terkuras oleh ujian di kampus tadi. Dan tiba-tiba aku teringat wika, kalau aku lagi sendiri, lagi termenung, Bayangannya selalu menghampiriku, seolah-olah menyapaku untuk terus terhanyut oleh bayangannya. Sungguh, aku benar-benar sangat merindukannya.

“Apakah aku harus menelponnya, untuk menyatakan padanya bahwa saat ini aku benar-benar merindukannya?” tanyaku dalam hati.

Tidak, tidak, aku tidak boleh menyatakan rinduku padanya apalagi menyatakan cinta padanya. Biarlah semilir angin ini menyampaikan rinduku padanya, walaupun entah kapan disampaikan oleh angin, dan biarlah cinta ini aku simpan dengan baik di dalam hati, walaupun sesungguhnya aku tak kuasa untuk menolak cinta itu. Iya, iya aku harus bisa menguasai dan mengontrol diriku sendiri, lagi pula terlalu ego bagiku, jika suatu nanti pelajaran di sekolahnya terganggu karena aku. “Wika aku sayang kamu, dengan diamku inilah tanda cintaku untukkmu, dan belum saatnya aku ungkapkan”, aku terus bermain dengan perasaanku sendiri, sampai tidur pun menarikku masuk ke dalam mimpinya.

Hari yang dinantikan pun telah tiba, hari Sabtu, hari yang telah dijanjikan kesepakatan bersama oleh: Ozi, Wika, Dido, Ando, dan Lena, yang sedang memikul cariel di pundaknya masing-masing, yang berisikan peralatan, perlengkapan dan logistik untuk mendaki.

“Gimana teman-teman? Siap untuk berangkat? atau masih ada peralatan, atau perlengkapan, yang belum lengkap? Bang Dido, bang Ando, kak Lena, dan Wika, siap semua?”

“Siap bang Ozi, semua beres” serentak jawab Dido, Ando, dan Lena, Si Wika tak bersuara, ia hanya diam. “Hei dik, kamu kenapa? Malah diam.” tanyaku pada Wika. “Sarung tanganku bang tertinggal”, “Oh, ya udah, punya abang ada dua, nih simpan dulu, nanti pakai ya?” aku memberikan sarung tangan, yang baru aku ambil dari tas pinggang. “Terimakasih bang Ozi, hehhe” Sahut Wika tersenyum manis.

“upps, manisnya nih anak, kalau lagi senyum” gumamku dalam hati. “Ok bang, siap kita berangkat?” Dido mengagetkanku, mungkin ia sedikit tahu tentang peasaanku sama Wika, emang sih aku seringnya curhat sama Dido, jadi dia tahu benar tentang aku.

“Siap bang, siap” jawabku kaget. “Ok, kita berangkat!” Sahut Lena sambil melangkah duluan menuju mini bis. Tak lama kemudian mini bus ini pun bergerak dan mulai melaju, ku lihat mereka sudah mulai mengantuk, satu persatu mereka kulihat tertidur. Tetapi aku tak bisa tidur, aku hanya bisa menatap gadis kecil bidadari surga yang turun dari langit, rambutnya yang lurus memanjang sampai ke bahu, menambah anggun wajahnya, sesekali ia terbangun untuk merapikan poni rambutnya karena diterpa angin.

Dan akhirnya kami sampai di kota Berastagi, tetapi kami harus menyambung angkot lagi menuju gunung Sinabung, dibutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk sampai ke sana. Tak terasa, Danau Lauh Kawar pun sudah kulihat, airnya yang hijau, tenang dan dingin mengingatkanku beberapa tahun yang lalu ketika aku dan teman-teman menyeburkan diri mengecap berenang di danau itu.

“Welcome to Sinabung Mountain brothers and sisters, and welcome to Lauh Kawar lake brothers and sisters” teriak Dido sambil membentangkan tangannya. Dan Si Lena berlari kecil menuju ke tepian danau, lalu membasuh mukannya dengan air danau itu. “wah, segar kali oi, huhhh, dingin-dingin.” ucap Lena. Ando pun menyusul lena ke tepian danau, tampak sekali kerinduan yang tercurahkan dari wajah mereka.

“Subhanallah, keren sekali bang danaunya, dan gunung itu” kagum Wika saat melihat danau Lauh Kawar dan menunjuk ke arah gunung Sinabung, ia pun berjalan mendekatiku. “Iya dik, emang keren” sahutku, sambil menatap wajahnya.

Dan tiba-tiba saja ia menoleh menghadapku, ini membuatku tak karuan. “Serius amat, ngelihatin aku bang. Ada apa bang?” wika heran. “Oh, enggak dik, enggak apa-apa dik” jawabku gugup.

‘Oi abang-abang, kakak-kakak, mari dirikan tenda, udah mulai gelap nih hari” ajak Dido kepada kami, sambil mengeluarkan tenda dari carielnya. “Ok bang” Sahutku cepat.

Dan kami pun mendirikan tenda, satu tenda untuk para cowok, dan satu lagi tenda untuk para cewek. Lalu saling berinisiatif sendiri-sendiri melakukan sesuatu, Si Dido menyiapkan menu makanan untuk malam ini, ia mulai memasak nasi dibantu dengan Lena, Ando mencari kayu bakar, untuk api unggun nanti malam, dan Wika membantuku memasukkan barang-barang ke dalam tenda.

Hari pun semakin gelap, matahari mulai tenggelam di ufuk barat, udaranya pun semakin dingin, si Wika mengambil jaket lalu memakainya, tampak si Wika mulai beradaptasi dengan alam.

“Oh ya dik, pernah nonton film ‘My Name Is Khan’ bintang utamanya Shahrukh Khan, Tau enggak adegan mana yang paling berkesan di film itu?” tanyaku, “Pernah bang aku nontonnya, tapi enggak tau bagian mana adegan yang paling berkesan. Emang dibagian mananya bang?” sahut Wika.

“Ingat benar abang adegan waktu si Khan mau sholat di daerah non Muslim, dan ada sepasang suami istri Muslim India juga, mengingatkannya untuk tidak sholat di sembarang tempat, apalagi di kawasan non Muslim, lalu Khan menjawab ‘Untuk melaksanakan sholat, bukan tergantung pada tempatnya, bukan juga tergantung pada orang-orang di sekitar itu, tetapi tergantung pada keyakinan’, kalimat ini dik, menguatkan abang saat mulai enggan untuk melaksanakan sholat, apalagi daerah seperti ini, udaranya dingin, bawaanya malas untuk sholat”.

“Ya ampun, segitunya bang?” respon Wika sambil menundukkan kepalanya. “ya udah, sholat jamaah dulu kita yuk?” ajakku. “aku enggak bawa mukena lho bang, gimana dong? “.

“bentar abang pinjam mukena dulu sama pendaki yang lain.” setelah mendapatkan mukena, kami pun bertiga sholat Maghrib berjamaah. Kecuali Dido dan Ando mereka non muslim, tetapi di antara kami keyakinan tidak dipermasalahkan dalam berteman, kami saling menjaga perasaan keyakinan teman kami masing-masing.

Beberapa jam kemudian, harum mie goreng ala chep Dido menusuk hidung kami, ditambah harum khas ikan sarden, menambah selera makan malam ini. “Waktunya makan! Mari-mari makan malam, yang jauh mendekat, yang dekat merapat” Lena menawarkan masakan chep Dido.

“makan-makan, udah laper nih,” sambut Ando, setelah menyalakan api unggun. “mantap beghh, buat lingkaran oi,” sahutku, dan wika duduk di sampingku. Kami pun makan dengan lahapnya, diterangi api unggun dan lampu sentir, malam yang cerah, bulan yang terang bertabur bintang menambah terangnya makan malam kami.

“Gimana enak enggak masakan mie goreng, dan ikan sardenku?” tanya Dido pada kami. “Enak bang Dido, tapi lebih enak lagi mie goreng kantin kampus lah. Haha:D” sahut Ando, “Yah itu mah, sayurnya lengkap, kalau ini apa adanya bang. Haha:D” jawab Dido sambil makan dengan lahapnya. “Lumayan enaklah bang, daripada enggak makan. haha” Sahut Lena sambil tertawa kecil,

“Kalau menurutku sih enak, walaupun sedikit asin ya. Tapi asinnya ini murni kan bang?” tanyaku pada Dido, “Iya murni lah, maksudmu bang Ozi, bercampur dengan keringat begitu?” jawab Dido, yang menghentikan suapan nasinya sebentar. Lalu kami pun tertawa terbahak-bahak “hahhahaahaha”.

“Eh, untuk dik wika tambuh ya? Jangan malu-malu, kalau malu-malu di sini kelaparan. Hehehe” tawar Ando sambil menyodorkan mie goreng yang ada di mangkuk. “iya dik, jangan malu-malu, soalnya kita harus makan yang cukup, agar energi kita terjaga, saat kita muai mendaki nanti” sahut Lena lagi. “Iya bang Ando, kak Lena” jawab Wika, lalu menambah nasi ke piringnya.

“jam berapa kita mulai mendakinya bang Ozi?” tanya Wika padaku, “Sekitar pukul 24:00″ jawabku. “ohh, berarti lama lagi dong, terus habis makan nih, kita mau ngapaen lagi bang?”, “Habis makan kita tidur sebentar, setelah pukul 24 kita bangun, dan siap-siap untuk mendaki” jawab Ando, “Dan jangan sampai ketiduran ya woi!” sahut Lena lagi. “pastikan alarm kita hidup” ucapku, sambil memasang alarm hpku. Setelah makan malam, kami pun masuk tenda untuk tidur, untuk menguatkan tenaga kami yang cukup melelahkan seharian tadi.

Beberapa jam kemudian, alarm hpku pun berdering sebagai tanda menunjukkan pukul 24:00. Aku pun tersentak bangun, lalu membangunkan yang lain, “Bangun-bangun woi! Bang Ando bang Dido bangun,”, “Udah pukul 24 ya bang?” tanya Dido, sambil mengucek matanya. “Iya, waktunya kita naik”.

“Haduh bang Ozi, masih ngantuk banget nih” sahut Ando, yang masih tidur juga. “Hoalah bang Ando, bangun dong! Aku juga mau bangunkan Wika dan Lena nih”, “Iya-iya” jawab Ando, yang akhirnya terpaksa bangun.


Aku pun keluar tenda, dan membangunkan wika dan Lena yang tendanya di samping tenda kami juga. “Kak Lena, bangun kak!”, “Iya bang Ozi, ini kami udah bangun.” sahut Lena dari dalam tenda, dan mereka pun keluar dari tenda. Aku sedikit kaget melihat wajah Wika, walaupun baru bangun tidur, wajahnya tetap cantik, enggak ada kusutnya sedikit pun, ya walaupun rambutnya yang panjang masih belum dirapikan, tetapi malam ini ia sungguh sangat cantik, sungguh mempesona.


“Ok teman-teman, kita siapkan barang-barang kita, kita bawa tenda satu untuk di puncak” ucap Dido, sambil membereskan perlengkapan yang akan dibawa ke puncak. Dan kami mulai membereskan perlengkapan kami masing-masing.


Lengkap sudah, perlengkapan di tubuh kami, mulai dari kaki sampai ujung kepala, bersepatu treck, berjacket tebal, bersarung tangan, bertopi yang ditambah headlight sebangai penerang, ditambah cariel di pundak kami masing-masing. Sebelum meninggalkan perkemahan, seperti biasa kami tak lupa untuk berdoa, agar pendakian kami diberikan yang terbaik oleh Tuhan.

“Baiklah, abang-abang, kakak-kakak, sebelum kita mulai pendakian ini, marilah kita meluangkan waktu kita sejenak, agar kirannya petualangan kita kali ini diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa, tundukkan kepala, dan doa dimulai menurut agama masing-masing!” ucapku untuk memimpun doa. Setelah berdoa kami pun berpelukan satu sama lainnya dan sama-sama mengucapkan sambil berteriak “Bersama kita mulai, bersama kita akhiri, huahhh” itulah motto kami.

setelah itu kami menuju posko pendaftaran, untuk mendaftarkan diri di posko itu. Setelah mendaftarkan diri, kami pun memulai pendakian kami dengan penuh semangat.

Kami pun mulai menyelusuri hutan kecil di kaki gunung Sinabung, dan mulai masuk di pintu rimba. “Untuk semua teman-teman, kita sudah memasuki pintu rimba, diharapkan untuk semua lebih fokus lagi, dan kalau ada yang capek bilang ya? Biar kita istirahat, dan jangan terlalu memaksakan diri, karena itu beresiko” Dido memberikan sedikit arahan dari depan. Dia yang memimpin menapak, yang ke dua Lena, setelah itu aku, wika di belakangku, dan Ando paling belakang menapak, jarak kami dua meter dari yang lainnya. “Sipp bang Dido” jawab kami serentak.

“Seram juga ya bang hutannya, mana dingin lagi, oh ya bang pendaki yang lain mana ya? Ko’ cuma kita aja.” ucap wika padaku, “hutan mana ada yang enggak seram dik, kalau enggak seram itu namanya taman, hehee. Pendaki yang lain mungkin di atas dik, mereka mendaki duluan.” sahutku sambil terus melangkahkan kaki di tanah yang lembab dan berair.

Kami terus melangkah, udara yang dingin pun kini kami rasakan menjadi panas, karena keringat yang terus bercucuran dari tubuh kami.

“Kalau panas, dibuka aja jaketnya dik Wika!” ujar Ando, sedikit memberikan arahan, “iya bang Ando” sahut Wika. Tak hanya Wika yang melepaskan jaketnya, kami pun semua melepaskan jaket kami masing-masing. Setelah berhenti untuk melepaskan jaket, kami pun kembali menapaki tanah yang lembab, tanah yang licin, yang dijalari akar-akar pohon yang membuat kami sesekali tersandung.

“Oya bang Ozi, di sini enggak ada binatang buas ya? Maksudnya seperti harimau, singa, atau ular besar?” tanya wika padaku, “sepertinya enggak ada deh dik, selama kami mendaki belum ada melihat binatang seperti itu, mendengar dari pendaki yang lain pun belum ada dik. Tapi kalau di gunung Leuser mungkin ada dik, karena abang pernah membaca beritanya.” Sahutku.

“Oh enggak ada ya bang. Gunung Leuser, suka banget lho bang gunung Leuser, pengen banget mendaki ke sana. Kabarnya gunung yang terindah di puncak Leuser ya bang? Diantara gunung-gunung pulau sumatera ini” tanya wika lagi, “Abang dengar pun seperti itu dik, tapi dik kalau kamu yakin ingin mendaki gunung Leuser, daki dulu gunung-gunung yang medannya tidak terlalu berbahaya. Mendaki gunung itu bertahap dik, enggak langsung tunjuk gunung ini, gunung itu, untuk didaki. Karena kita harus benar-benar siap mental, fisik, sedikit pengalaman, dan selalu belajar mengontrol diri, maksud abang menaklukkan diri sendiri.” jawabku, sekaligus memberikan keterangan untuk Wika.

“Iya dik benar kata bang Ozi, seperti yang dibilang Sir Edmund Hillary ‘bukan gunung yang ditaklukkan, tetapi diri sendiri yang ditaklukkan’.” sahut ando dari belakang. “Oh seperti itu ya bang, iya bang aku paham.” ujar Wika, sambil menganggukkan kepalanya.

Brakk, terdengar suara cukup keras dari depan, seperti suara menubruk. “Aduh woi, jidatku berdarah” rintih Dido. Lalu kami mengejar Dido, kami lihat jidat Dido berdarah cukup banyak karena terbentur batang pohon. Kami menjadi panik, tetapi bagaimanapun kami harus menghentikan darah yang terus mengucur dari jidat Dido.

“Ini bang ando kasi bethadine dulu, setelah itu diperban lukanya.” ujar Lena kepada Ando, sambil mengeluarkan kotak P3K dari carielnya. “iya-iya sini cepat” sahut ando sambil membersihkan darah dijidat Dido. Dan aku membantu Ando menangani luka dijidat Dido. Setelah kami bersihkan luka itu, lalu kami beri bethadine, dan setelah itu kami perban jidat Dido. Dan akhirnya, sukurlah darahnya sudah mulai berhenti.

“Kenapa bisa sampai nubruk batang pohon bang?” tanyaku pada Ando. “mataku kurang jelas memandang bang, apalagi malam.” jawab Dido sambil menegakkan kepalanya. “hoalah bang bang Dido, bang Dido. Enggak bilang dari awal, biar aku mimpin jalan.” sahutku.

“Jadi gimana nih bang Dido, lanjut pendakian kita?” tanya Ando, “pasti lanjutlah, emang ada apa?” jawab Dido tegas, sambil mengepalkan tangannya lalu mengangkatnya ke atas. “Yakin bang Dido?” tanya Lena lagi. “Iya lho abang-abang, kakak-kakak, aku enggak apa-apa” sahut Dido, sambil berdiri membuktikan kepada kami bahwa ia baik-baik saja.

“baiklah bang Dido, kalau seperti itu.” sahutku. “Bang Dido ini cokelat, nah makan!” ujar wika pada Dido, yang baru aja diambil cokelat dari carielnya. Lalu Dido pun memakannya, dan membagikan kepada kami semua.

“Dik kamu tau, seseorang yang jatuh tersungkur, dengan cepatnya ia kembali tegak, lalu melangkah lagi? Itu karena impian dik. Sama halnya dengan pendakian kita ini dik, impian kita adalah kita harus sampai di puncak. Nah, walaupun abang udah luka jidat abang ini, itu tidak membuat semangat abang kendur dik, bahkan semangat abang malah menambah, seperti api yang disiram bensin” ujar Dido, sambil berdiri dan memakai carielnya.

“yuk jalan lagi” Dido memberikan arahan. “Uppsss, tunggu dulu bang Dido, biar aku yang mimpin jalan, kita ubah formasi kita. Aku yang pertama jalan, lalu Wika, berikutnya Bang Dido, berikutnya kak Lena, dan bang Ando tetap seperti semula.” ucapku.

Lalu kami pun melanjutkan pendakian kami. Berjalan di atas batang pepohonan yang tumbang, dan sesekali kami harus merayap di tanah yang lembab dan basah, karena jalan setapak itu terhalang oleh batang pohon yang kelihatan baru saja tumbang.

“Teman-teman semua, diharapkan lebih fokus lagi karena medannya cukup sulit, banyak pohon yang baru saja tumbang” ujarku, sedikit memberikan arahan untuk teman semua. “Oke bang Ozi.” jawab mereka serentak. “uhh, sial, senterku mendadak mati.” rintih Wika, sambil mengotak-ngatik senternya.

“Kenapa dik? Rusak ya? Coba bang lihat.” sahutku, lalu mengambil senternya dan aku coba periksa. “dik, bola lampunya rusak.” kamu pakai senter abang aja, biar abang pakai senter mancis.” sahutku lagi. “Biar aku yang mimpin jalan bang Ozi” sahut Ando dari belakang. “ok bang”. Lalu kami pun bertukar posisi, sekarang aku yang di belakang. Kami pun melanjutkan pendakian.

Kami kembali melanjutkan pendakian, lelah yang menyinggahi raga kami, tak kami hiraukan, karena impian kecil kami menggapai puncak. Kami terus menapaki jalan setapak itu, sampai kami berhenti saat gerimis mulai menetes di atas kelapa kami.

“Kita berhenti sejenak ya? Mulai dingin nih, kita ngeteh dulu gimana?” Ando menghentikan langkahnya, lalu mengeluarkan peralatan masak dari carielnya. “Setuju-setuju” sahut Lena kecil. “istirahat di sini saja, tanahnya cukup datar dan tidak terlalu basah” Dido mengarah tanah itu. Kami berhenti sejenak, untuk menghangatkan tubuh kami dengan membuat teh.

“Oh ya dik, kamu suka sama bang Ozi ya, dari titik matamu, dan garis senyum di wajahmu saat menatap bang Ozi itu beda sekali? Jangan boong deh!” bisik Lena ke telinga Wika. “Hm, gimana ya? Ada benarnya sih. Tapi..”, “Tapi apa dik?”, “Tapi mana mungkin kak, abang Ozi itu cowok yang baik, taat beribadah, mana mungkin merespon cewek seperti aku, sedangkan aku pakai jilbab aja enggak.” bisik Wika lagi. “Ah, hati enggak ada yang tau lho, apalagi bang Ozi, terlalu apik menyimpan perasaan.

“duarrrr, bicara apa kalian hah, nih minum tehnya, kongsi aja ya? enggak cukup cangkirnya” Dido mengagetkan mereka, sambil menepuk pundak Lena. “ihh, resek banget deh bang Dido. Tapi thaks tehnya, hehe” ucap lena sambil meminum teh hangat itu.

“mantap tehnya bang dido, bibirku pun tak lagi biru, benar enggak bang Ozi?” puji Ando, sembari menyodorkan secangkir teh itu padaku. “hmm, iya bang mantap.” pujiku lagi. “Haha, kalian bisa aja, kalian muji gini biar aku terus ya, masak dan buat teh?” sahut Dido. “Hehe, enggak lho bang, emang benar ko” aku tertawa kecil.

“Oh ya bang Ozi, lama lagi sampai ke puncak? Tanya wika, sambil mengusap-usap kedua telapak tangannya, tampak ia sedang kedinginan. “Enggak dek, paling sekitar tiga jam, kalau kita enggak ada halangan, kenapa dik? Kamu letih?” sahutku, sambil melihat ke arah jam tanganku.

“Ah, enggak ko bang, cuma nanya aja, oh ya bang Ozi, ngomong-ngomong pacar abang suka naik gunung juga ya?” tanya wika penasaran. “Pacar? Hehe, pacar abang itu ya mereka bertiga ini” sambil menunjuk Dido, Ando dan Lena. “enggak ngerti Wika bang, maksudnya?” tanya wika lagi, dengan mengedepankan wajahnya lebih dekat. “haha, maksud abang dik, abang enggak pacaran, tetapi berteman, karena berteman lebih baik dari pacaran, bahkan jauh sekali kebaikannya. Ngerti, maksud abang?” jawabku, sambil tertawa kecil. “Oh, seperti itu” wika mulai mengerti.

Gerimis mulai reda, dan teh di cangkir pun sudah mengering. Kami pun membereskan peralatan kami untuk kembali menyelurusi menggapi puncak Sinabung. “Ayo kawan-kawan, kita kembali melangkah” Ujar Ando, yang memulai melangkah.

Mendaki terus, terus mendaki sampai medannya pun berganti, tanah yang lembab, sedikit berair, dijalari akar-akar pohon, dan sesekali merayap di bawah pohon yang tumbang, sudah kami lalui. Kini kami dihadapkan dengan medan bebatuan yang keras dan cadas, sebagai tanda sebentar lagi kami berada di puncak.

“Bentar lagi kita sampai, lebih hati-hati lagi, karena takutnya ada batu yang menggelinding” sedikit arahan Ando. “Ok bang” jawab kami serentak. Di medan bebatuan ini, kami tak lagi seperti berjalan tetapi sudah seperti memanjat, karena bukan lagi horizontal yang kami hadapi, tetapi sudah hampir vertikal. Kami pastikan batu yang kuat sebagai tumpuan kami, karena jika batu itu tidak kuat, itu bisa membuat kami beresiko fatal, dan menggelinding bagaikan batu.

“Sini tanganmu dik, biar abang bantu” Ando menjulurkan tangannya untuk Wika. “Iya bang” sahut Wika, nafasnya mulai terengah-engah. “Hati-hati ya dik!” sahutku dari belakang, “ok bang Ozi” Wika menoleh ke belakang sambil memainkan mata padaku yang sedikit tertutup oleh rambut panjangnya.

“Ya Allah, aku sangat menghawatirkannya, jaga keselamatannya, aku tidak mau ia terjadi apa-apa.” doaku dalam hati, dan sesekali aku melihat wajahnya yang kelihatan sedikit pucat. “Bang Ando kita berhenti sebentar, betisku keram” keluh Wika, sambil mengusuk betisnya. “ok, kita berhenti” Ando memberikan aba-aba. Lalu aku mempercepatkan diri untuk mendekati Wika, dengan sedikit cemas.

“Kenapa kamu dik?” tanyaku, sembari melepasakan carielku. “betisku keram bang Ozi.” jawab wika, yang terus mengusuk betisnya dengan balsem. “hm, ya udah kusuk aja terus dik” sahutku

“Kakak juga pernah seperti itu dik, waktu pertama kali mendaki. Iya kan bang Ozi?” ujar Lena, sambil membantu Wika memijit-mijit kakinya. “Iya dik, benar. Nanti hilang itu keramnya, kalau sudah dipijitin terus.”, “iya bang, kak” sahut Wika.

“Subhanallah, indahnya taburan bintang itu, dan lihat kerlap-kerlip lampu kota itu, tak pernah kubayangkan sebelumnya,” kagum wika dan menghentikan pijitan kakinya. “hah, baru sadar! Kamu dik.” tanyaku heran. “Hehe, iya bang dari tadi aku ketakutan terus, jadi aku enggak terlalu memandang terlalu jauh, aku hanya menatap batu-batu di depan mataku aja,”

“Nanti kalau kita udah di puncak, lebih indah lagi dik apa yang kita lihat. Karena jarak pandang kita tak terhalang. Semangat ya!” ujarku, seraya menepuk pelan pundak wika. “Ok deh, yuk lanjut lagi!” sahut Wika, dan ia kembali tegak.

Kami pun mulai melanjutkan pendakian yang sebentar lagi sampai di puncak. Semakin tinggi keberadaan kami, semakin dinginlah udaranya, dan semakin kencang pula angin yang menghadang kami.

Beberapa menit kemudian, akhirnya kami sampai juga di puncak Sinabung. Perjuangan yang kami lakukan kini sudah dibayar dengan keindahan alam. Tampak dengan jelas sekali kerlap-kerlip lampu kota Medan, kerlap-kerlip lampu kota Berastagi. Bagaikan ribuan kunang-kunang yang beterbangan. Dan cahaya bulan cukup terang, ditambah dengan kerlipan bintang yang berserakan di lagit gelap sana, menambah keindahan alam yang tak mungkin bisa dilihat dari jendela kamar.

“Kita sudah sampai dik, selamat datang di puncak Sinabung!” ucap Ando, sambil membentangkan tangannya. Sudah kebiasaan Ando, dengan gayanya yang khas ia pun melepaskan baju, lalu menghisap rokoknya, setiap sampai di puncak.

“Ya Allah, Subhanallah, indah sekali ciptaaMu Tuhan. Tak pernah aku bayangkan seperti ini.” kagum Wika, saat ia merasakan keindahan yang luar biasa di atas puncak. “Indah ya dik? Itu makanya dik, abang selalu merindukan momen seperti ini, yang pastinya enggak akan abang dapatkan di kota sana.” ujarku sambil mendekati Wika.

“akhirnya kita sampai juga di puncak. Woiiiii!” teriak Dido. ” yess, aku akhirnya bisa kita tebus kerinduan ini.” sahut Lena.

Dan kami pun saling tos satu sama lain, lalu berpelukan bersama-sama sebagai tanda “semua itu karena kebersamaan kami”. Lalu kami mendirikan tenda, karena dinginnya luar biasa, sambil menunggu sinar mentari yang akan menghangatkan tubuh kami.

“Udah berdiri nih tendanya, sini woi masuk! Jadi patung es nanti kalian di luar sana” ajak Lena menyuruh kami masuk. “ok Len, yuk masuk dik, nanti kita lihat lagi dik, saat sang surya menyambut kita” ucapku, dan mengajak Wika masuk ke dalam tenda.

“tunggu-tunggu dulu, kita foto bareng dulu bang! Dengan background lampu kota Medan, bang Ando tolong ambilin foto kami dong” ujar Wika, sambil mengeluarkan kamera pocket di kantong kecil carielnya, dan ia pun memanggil Ando, “Ok bisa” sahut Ando cepat. Dan kami pun mengabadikan momen itu difoto.

Lalu kami masuk ke dalam tenda, menunggu sunrise seperti pendaki-pendaki lainnya. Untuk menghangatkan tubuh kami, Dido pun menyuguhkan teh dan beberapa potong roti tawar yang sudah diolesi selai untuk kami.

Waktu terus berlalu, momen yang dinantikan pun muncul. Sang surya sedikit malu tertutup awan tipis, Sinar orangenya yang kekuning-kuningan membelah kesepian di awan ufuk timur.

“Woi, lihat! Sunrise.” teriak Ando dari luar Tenda. “udah bangkitkah sang raja siang” sahut Lena. Kami pun segera keluar.

“oh my God, amazing” kagum Wika yang kesekian kalinya, ia pun duduk manis menatap kelembutan sinar raja siang. “cantik dik, mataharinya? Oh, ya boleh bang duduk?” aku pun duduk di samping Wika. “iya bang, cantik sekali. Tentu aja boleh, sini duduk bang.” sahut Wika, sambil menggeser duduknya.

Dido, Ando, Dan Lena, mereka mengambil foto bergantian berlatar belakang Sunrise. Dan aku duduk manis bersama gadis kecilku.

“Bang Ozi, Wika, senyum dong! Biar aku ambil foto kalian berdua” teriak Lena, sembari mengarahkan kameranya mengarah kami. “ok, sipp” jawab kami serentak”. Kami pun difoto oleh Lena, dengan senyum terbaik yang aku berikan.

“Oh ya bang, ada sesuatu untukmu, ini udah aku siapkan waktu kita mau berangkat. Tunggu bentar ya?”, “Apa itu dik?” , “lihat aja deh.” Wika pun masuk ke tenda untuk mengambil sesuatu.

“Buka bang kadonya!” ucap Wika, “apaan nih dik?” aku sedikit bingung, dan membuka kado itu. Oh, ternyata tas pinggang Eiger. Tas pinggang salah satu asesoris yang aku sukai.

“Hei dik, kamu kenapa tau abang suka tas pinggang?” tanyaku heran. “ada deh, mau tau aja. Hehe, tapi abang suka kan?”, “iya abang suka sekali, tapi kan ini mahal?”, “santai aja lagi bang” sahut Wika enteng.

Aku sungguh terkejut saat gadis kecil ini membuat suprise di puncak, sungguh tak bisa aku lupakan. Aku hanya diam, menatap bening matanya yang jeli, pipinya yang putih bak pualam, hidungnya yang tak terlalu mancung, dan bibirnya yang tipis, semua indah menyatu di wajahnya.

“bang Ozi, abang enggak ada yang mau diucapkan untukku, mengenai perasaan abang?” ucap Wika, dan menatap serius mataku. “a . a pa ya?” jawabku gugup. Aku mulai mengerti perasaan Wika terhadapku, tapi enggak mungkin aku ucapkan ‘I love U’, lalu nembak dia, terus jadian, dan akhirnya kami pacaran. Tidak, tidak mungkin itu terjadi. “ya Tuhan tolong hambaMu, tunjukkan jalan yang lurus” doaku dalam hati.

“Bang Ozi, tau enggak sebenarnya aku menunggu ucapan yang terindah dari mulutmu bang?”

“Dik, kamu masih terlalu muda untuk memahami cinta, di usia muda sepertimu, kamu akan kesulitan memahami cinta. Bukan berarti abang melarangmu untuk mencintai seseorang, walaupun itu termasuk diri abang. Dan abang mengerti benar, mencintai dan saling mencintai itu manusiawi sekali, cinta juga tak bisa ditolak ketika ia singgah di hati manusia. Tetapi dik, kamu juga bisa menyesuaikan dengan keadaanmu, karena cinta yang sesungguhnya tidak seperti yang kamu bayangkan, cinta itu bukan sekedar kata ‘I love U’, lalu jadian, setelah itu pacaran, bukan dik, bukan itu, jauh seperti yang kamu bayangkan. Cinta itu hanya dalam ikatan pernikahan dik” jelasku pada Wika.

“Aku mengerti bang, walaupun saat ini masih belum bisa aku terima.” sahut Wika dengan wajah sedih.

“ada yang lebih penting dari semua itu dik, yaitu pelajaranmu, karena pelajaranmu ini adalah masa depanmu, jadi bukan cowok masa depan itu. So, kalau mau sedih, sedih karena pelajaran bukan sedih karena cowok, hehe. Yuk gabung sama yang lain!” ujarku sambil berdiri.

“Wika, andai kamu tau sebenarnya hati ini, kamu mungkin tak sedih seperti ini” gumamku dalam hati.

“iya bang, yuk bareng mereka” sahut wika. Dan kami pun bergabung dengan yang lain, lalu kami mengabadikan momen-momen di puncak Sinabung dengan foto narsis kami. Aku lihat Wika kembali menggariskan senyum, bening matanya yang berkaca-kaca tadi pun telah hilang. Kini ia tertawa bersama teman-teman yang lain.

“Laper nih, masak mie yuk!” ajak Lena. “Kali ini yang masak jangan aku lagi ya?” sahut Dido, sambil berpose yang difoto oleh Ando.

“iya, tenang aja, aku yang masak ko’ sama Wika, iya kan dik?” sahut Lena. “siip kak” jawab Wika. Mereka pun mulai memasak mie.

Beberapa menit kemudian, mie yang dimasak Lena dan Wika akhirnya siap untuk disajikan. “Abang-abang, mari sini, udah masak nih mie” teriak Lena. “wah, cepat bener.” sahut kami, lalu kami pun menuju tenda. Segera kami lahap mie buatan Lena, karena perut sudah lapar.

Tiba-tiba hpku berbunyi, tanda sms masuk, lalu aku baca. “Ozi, kalau sudah selesai mendaki, langsung pulang ke rumah ya? Karena pernikahanmu dengan Zahra dipercepat. Ini semua karena memenuhi permintaan Ayah Zahra yang meninggal beberapa hari yang lalu. Dan keluarga zahra sekarang di rumah.”

“Innalillahi Wainna Ilaihi Roziun, Ayah Zahra meninggal.” ucapku sedih. Tanpa kusadari, hpku pun terlepas dari genggamanku. Lalu Wika membaca sms itu karena penasaran.

“Zahra siapa bang?” tanya wika penasaran. “Zahra itu saudara jauh abang, dan kami telah dijodohkan setahun yang lalu, oleh kedua orangtua kami.” jelasku.

Kembali mata wika berkaca-kaca, lalu air matanya pun mengambang di pipinya. “Jadi bang, kamu akan segera menikah dengannya?” tanya Wika sambil menangis. Dan lena pun mengelus-elus kepala Wika sembari berucap “sabar ya dik, kamu harus kuat!”, “Iya dik, kamu haru bisa” dukung Dido dan Ando.

“Abang juga enggak tau dik, bagaimana ke depannya. Semua abang serahkan pada Allah, abang hanya mengikuti skenario aja.” jawabku. Mendengar jawabanku, Wika pun keluar tenda, dan berlari ke tepi jurang. Lalu aku mengejarnya untuk membuatnya tenang.

“Dik, kamu harus paham, apapun terjadi dalam hidupmu, itu adalah yang terbaik untukmu. Tinggal saja, bagaimana kamu menghadapinya dan belajar dari kesalahan yang lalu.” jelasku sambil menghapus air matanya yang menetes di pipinya dengan tissu.

“tapi bang, apakah kita bisa berkomunikasi lagi? Kalau abang sudah menjadi suaminya” tanya Wika. “Ya tentu boleh dik, kak Zahra perempuan yang baik. Nanti abang kenalkan sama kamu.”

“Iya bang” ucap Wika dengan senyumnya yang terpaksa. “Nah, begitu dong, jadi anak yang baik ya” Ucapku sambil mengelus rambutnnya. “Iya bang, semoga aku kuat.”

Tak terasa, sinar matahari pun mulai memanas. Waktu menunjukkan pukul 10:30, kami pun harus kembali turun, karena kerinduan kami telah terbayarkan.

“Oi.. Bang Ozi, Wika, turun yuk!’ udah panas nih” teriak Lena dari tenda. “ok, sipp” jawabku.

“Oh ya bang, mungkinkah kita bisa mendaki bersama lagi?” tanya Wika. “Kenapa enggak. Ya bisa lah. Ya udah yuk kita siapkan barang-barang kita, biar kita turun.” jawabku senyum. “Oke deh bang” jawab Wika sambil memainkan matanya.
Asmara Dewo
.

Posting Komentar

0 Komentar